Runtuhnya Bani Umayyah



MAKALAH
TARIKH TASYRI
Detik-Detik Runtuhnya Bani Umayyah









JURUSAN PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM
MATARAM
2018




Kata Pengantar

Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan manusia sebagai makhluk terbaik di bumi dan yang telah memberikan petunjuk jalan kebenaran melalui syariat-nya yang disebut dengan syariat Islam. Shalawat dan salam semoga dihaturkan kepada junjungan Nabi Muhammad saw, sebagai pelaksana dan pembina syariat Islam di atas bumi ini yang kemudian dilanjutkan ulama mujtahidin dari masa ke masa, dari masa sahabat, tabi’in, dan tabi’ tabi’in sampai hari kiamat. Amin, ya Rabbal ‘Alamin.
Umat Islam, dalam perkembangannya memiliki kesadaran dalam pembinaan hukum Islam. Pembinaan hukum memiliki perubahan dan perkembangan sesuai dengan perkembangan zaman. Pada zaman Nabi Muhammad saw masih hidup, Al-quran turun untuk menjawab segala persoalan yang terjadi pada masa itu. Jika Alquran tidak turun, Nabi langsung menjawab segala persoalan itu berdasarkan pemahaman teks Alquran atau berpendapat (ijtihad). Permasalahan sosial setelah Nabi wafat semakin bermunculan terutama ketika wilayah umat Islam semakin luas ke berbagai negara dan mengahadapi berbagai persoalan baru yang belum pernah terjadi pada masa beliau. Demikian juga budaya dan tradisi mereka yang beragam.
Segala permasalahan hukum yang timbul setelah masa Nabi diselesaikan ulama melalui Alquran. Jika tidak didapatkan dalam Alquran, mereka menggunakan sunnah, dan jika di dalam sunnah tidak ada, mereka berijtihad.
Tak lupa ucapan terima kasih dan meminta maaf sebesar-besarnya kepada dosen pengampu yang telah mengarahkan kami sampai terselesainya makalah ini. Tentunya makalah yang kami buat banyak kekelirun dan kekurangan, baik tulisan, bacaan dan sebagainya. Kami menyadari semua kekurangan dan kesalahan tersebut dengan mengharap saran dan kritikan agar bisa memperbaikinya dan menjadi lebih sempurna dari sebelumnya.


                                                                                                Mataram, 07 April 2018
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
            Tasyri’ memiliki sejarah pertumbuhan dan perkembangan dari masa ke masa setapak demi setapak menuju kesempurnaannya dan selalu sesuai dengan kondisi masyarakatnya. Sejarah tasyri’ berkembang sejak adanya islam, yaitu sejak masa Rasulullah SAW. Sampai dengan sekarang. Tasyri’ terbentuk sesuai dengan keperluan yang dibutuhkan masyarakat untuk mengatur kehidupan demi mencapai kesejahteraan hidup, baik di dunia maupun di akhirat.
Pada masa Rasulullah saw, permasalahan di masyarakat belum begitu banyak. Segala permasalahan diserahkan kepada beliau yang berpedoman dengan Al-Qur’an dan Hadis. Akan tetapi, setelah wilayah islam menjadi luas dan menghadapi berbagai permasalahan baru, maka dasar tasyri’ menjadi berkembang, yaitu menggunakan al-qur’an, hadis dan ijtihad. Dari ijtihad inilah muncul berbagai metode sesuai dengan karakter permasalahan yang dihadapi dan sesuai dengan metode yang ditemukan para mujtahid.
            Ijtihad adalah mengerahkan kesungguhan dalam mengeluarkan hukum syara’ dari apa yang dianggap syari’ sebagai dalil yaitu kitabullah dan sunnah Nabinya. Pengeluaran hukum pada masa itu terbatas pada fatwa-fatwa yang difatwakan oleh orang yang ditanya tentang suatu peristiwa. Mereka tidak meluaskan dalam menetapkan masalah-masalah dan menjawabnya, bahkan mereka tidak menyenangi hal itu dan mereka tidak menampakkan pendapat tentang sesuatu sebelum sesuatu itu terjadi. Jika sesuatu itu terjadi maka mereka ijtihad untuk mengistimbatkan hukumnya.
B. Rumusan Masalah
1.      Bagaimana peran khalifah ke-VII sampai khalifah ke-empat belas pada masa pemerintahan Bani Umayyah ?
2.      Apa saja faktor-faktor penyebab mundurnya Bani Umayyah I di Damaskus ?
3.      Jelaskan beberapa proses runtuhnya Pemerintahan Bani Umayyah I di Damaskus !



C. Tujuan
1.      Mengetahui peran khalifah ke-tujuh sampai khalifah ke-empat belas masa Bani Umyyah.
2.      Mengetahui faktor-faktor penyebab mundurnya Bani Umayyah I di Damaskus.
3.      Mengetahui proses runtuhnya pemerintahan Bani Umayyah I di Damaskus.
D. Kerangka Teoritis
Pertentangan-pertentangan dalam materi fiqh merupakan sebab kesibukan ulama untuk menyusun ilmu yang mereka namakan “ushul fiqh” yaitu kaidah-kaidah yang wajib diikuti oleh setiap mujtahid dalam istinbath. Dan diriwayatkan dari tarikh Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan bahwa dua orang itu menulis tentang ushul fiqh, namun merupakan hal yang menyedihkan karena kitabnya sedikitpun tidak ada yang sampai kepada kita.
            Adapun yang sampai kepada kita dan dianggap sebagai asas yang shahih bagi ilmu ini dan kekayaan besar bagi para pembahas ushul fiqh adalah kitab Ar-Risalah yang diriwayatkan oleh Muhammad Idris Asy Syafi’i. Kemudian Asy Syafi’i menyebutkan bahwa Al-Quran berbahasa arab dan disana tidak ada sesuatupun kecuali dengan bahasa arab. Dari keadaan Al-Quran sedemikian itu, timbullah bahwa Al-Quran itu dipahami sebagaimana orang arab memahami pengertian-pengertian perkataannya, padahal orang arab bercakap-cakap dengan kalimat yang zhahirnya umum, sedang yang dimaksudkan khusus. Seperti dalam firman Allah SWT. QS. Ali Imran : 102 yang artinya “pencipta segala sesuatu sebab itu sembahlah Dia dan Dia adalah pemelihara segala sesuatu”.
            Adanya pergolakan pada masa ini, ternyata membawa pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan fiqh berikutnya. Dengan demikian, fiqh dari masa ke masa mempunyai kesinambungan antara yang satu dan yang lain. Adapun penyebab perkembangan fiqh dari hasil ijtihad ulama sehingga terkodifikasikan yaitu wilayah yang sangat luas, tersebarnya fuqaha ke berbagai wilayah, diperolehnya metode ijtihad dari periode sebelumnya, adanya keinginan agar tingkah laku kaum muslimin sesuai dengan syariat, dan lahirnya ulama yang berpotensi sebagai mujtahid.[1]


BAB II
PEMBAHASAN

A.   Khalifah-Khalifah Masa Bani Umayyah Dan
Detik-Detik Runtuhnya Bani Umayyah

  1. Sulaiman bin Abdul Malik (96-99 H/715-717).
Panggilannya Abu Ayyub. Dia salah seorang yang terbaik dari kalangan khalifah Bani Umayyah. Dia menjadi khalifah atas dasar keinginan ayahnya. Dia menduduki kursi khilafah pada bulan Jumadil Akhir tahun 96 H menggantikan kakaknya Khalifah Al-Walid bin Abdul Malik. Sulaiman selalu bersikap baik terhadap bangsa Arab Yaman, dan membenci bangsa Arab Hijaz. Dia gemar sekali bersenang-senang dan disanjung-sanjung. Setelah ia naik tahta, Sulaiman membuka pintu-pintu penjara dan membebaskan orang-orang yang dipenjarakan oleh Hajjaj bin Yusuf. Dia mengganti para pengumpul pajak yang diangkat oleh Hajjaj, dan menghapuskan pajak-pajak yang menindas. Pada masa pemerintahannya beberapa daerah bisa ditaklukkan. Antara lain Jurjan, Hishn al-Hadid, Saradaniyah, Syaqa (sebuah kota di Armenia), Thubristan dan kota Slavia.
Dia dikenal sebagai seorang yang fasih dalam berbicara, orator yang ulung, adil dalam tindakan, senang berperang. Dia lahir pada 60 H. Di antara tindakannya yang baik dan menonjol adalah ia menjadikan Umar Bin Abdul Aziz laksana perdana menterinya. Dia banyak mengikuti usulan Umar bin Abdul Aziz. Dia banyak memecat orang-orangnya al-Hajjaj dan melepaskan para tawanan yang ada di Irak. Dia menghidupkan shalat di awal waktu setelah sebelumnya Bani Umayyah mematikannya dengan mengakhirkan waktu shalat.
Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik dibenci oleh rakyatnya karena tabiatnya yang kurang bijaksana itu. Sulaiman meninggal dunia di Dabik di perbatasan Bizantium setelah memegang kendali pemerintahan yang singkat dan tidak begitu gemilang. Di ranjang kematiannya dia mencalonkan Umar Bin Abdul Aziz sebagai penggantinya. Watak Sulaiman sangat kontradiktif. Dia bermurah hati terhadap para pengikutnya, dan begitu kejam, sebagaimana ayahnya, kepada musuh-musuhnya.[2]

  1. Umar bin Abdul Aziz (99-101 H/717-719 M).
Dia bernama Umar Bin Abdul Aziz bin Marwan. Seorang khalifah yang shalih. Sering dipanggil dengan sebutan Abu Hafsh. Dia telah berusaha menghafal Al-Quran sejak kecil, kemudian ayahnya mengirimnya ke Madinah untuk belajar berbagai ilmu disana. Dia banyak berguru kepada Ubaidillah bin Abdullah.
Tatkala ayahnya meninggal, Abdul Malik memintanya untuk datang ke Damaskus. Lalu dia dikawinkan dengan anaknya yang bernama Fathimah. Ia diangkat menjadi gubernur Madinah oleh Khalifah Al-Walid bin Abdul Malik, salah seorang sepupunya, tetapi ia dipecat dari jabatannya itu karena masalah putra mahkota. Berbekal pengalamannya sebagai pejabat, kaya akan ilmu dan harta, serta sebagai bangsawan Arab yang mulia, ia diangkat menjadi khalifah menggantikan Sulaiman adik Al-Walid. Khalifah Umar Bin Abdul Aziz berubah tingkah lakunya, ia menjadi seoranh zahid, sederhana, bekerja keras, dan berjuang tanpa henti sampai akhir hayatnya yang hanya memerintah kurang lebih dua tahun.
Masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz sangat singkat, namun Umar merupakan “Lembaran Putih” Bani Umayyah dan sebuah periode yang berdiri sendiri, mempunyai karakter yang tidak terpengaruh oleh berbagai kebijaksanaan daulah Bani Umayyah yang banyak disesali. Ia merupakan personifikasi seorang khalifah yang takwa dan bersih, suatu sikap yang jarang sekali ditemukan pada sebagian besar pemimpin Bani Umayyah.
Umar bin Abdul Aziz ialah seorang penguasa yang menonjol karena sangat berbeda dengan para pendahulunya dan pemerintahannya yang singkat itu dipandang oleh banyak orang Islam sebagai satu-satunya titik yang cerah di dalam satu abad pemerintahannya yang tidak ber-Tuhan dan kezaliman yang berlumuran darah. Belum pernah ada pemerintahan seperti itu sejak masa pemerintahan orang yang senama dengan Dia dan kerabatnya yang termasyhur, Umar Bin Khattab. Pemerintahannya membuka suatu pertanda yang membahagiakan bagi rakyat maupun bagi imperium. Ketakwaan dan kesalehannya patut menjadi teladan dan kesibukan dalam hidupnya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.
Khalifah yang kaya itu menguasai tanah-tanah perkebunan di Hijaz, Syiria, Mesir, Yaman dan Bahrain yang menghasilkan kekayaan 40.000 dinar tiap tahun. Namun setelah menduduki jabatan barunya, khalifah Umar bin Abdul Aziz mengembalikan tanah-tanah yang dihibahkan kepadanya dan meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lamanya serta menjual barang-barang mewahnya untuk diserahkan hasil penjualannya ke Baitul Mal. Di samping itu, ia mengadakan perdamaian antara Amawiyah dan Syi’ah serta khawarij, menghentikan peperangan dan mencegah caci maki terhadap Khalifah Ali bin Abi Thalib dalam khutbah jumat dan diganti dengan bacaan berikut : “sesungguhnya Allah memerintahkan untuk mengerjakan keadilan Dn bijaksana, serta memberi kaum kerabat dan dia melarang perbuatan keji, munkar dan aniaya (QS.An-Naahl :90)”.
Khalifah yang adil itu berusaha memperbaiki segala tatanan yang ada di masa kekhalifahannya seperti menaikkan gaji para gubernurnya, memeratakan kemakmuran dengan memberi santunan kepada fakir dan miskin dan memperbarui dinas pos. Ia juga menyamakan kedudukan orang-orang Non-Arab sebagai warga negara kelas dua dengan orang-orang Arab. Ia mengurangi beban pajak dan menghentikan pembayaran jizyah bagi orang islam baru. [3]
Secara ringkas, masa Khalifah Umar II meskipun sama sekali tidak terjadi peristiwa-peristiwa yang menggemparkan, betul-betul menarik karena adanya ciri-ciri baru dan mulia di dalam struktur pemerintahannya. Akan tetapi, Umar II tidak berhasil dalam kebijakan keuangannya karena pembendaharaan negara benar-benar kosong disebabkan oleh pengecualian pajak-pajak dan terus bertambahnya orang-orang yang masuk Islam. Anak-anak para pejuang Arab biasa menerima pensiun dalam masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin, tetapi sistem ini telah dibatasi oleh Muawiyah dan dicabut oleh Abdul Malik. Umar II memulihkan lagi pensiun bagi anak-anak orang Arab yang ikut berjuang. Kebijakannya itu mengahancurkan mesin pemerintahan karena kecintaannya terhadap sistem perpajakan lama dan bersifat patriakal itu tidak cocok lagi dengan tuntunan waktu itu. Meskipun diilhami oleh maksud-maksud yang terbaik, kebijakan Umar tidak berhasil. Umar meninggal dunia dalam usia 39 Tahun dan dimakamkan di Dir Sim’an di sebuah kota di Hims. Dia meninggal akibat racun yang dimasukkan ke dalam makanannya. Bani Umayyah merasa sesak dengan tindakan-tindakan Umar, karena dia telah menghapuskan keistimewaan-keistimewaan yang mereka miliki. Dia tidak pernah memperhatikan makanan yang akan dia makan, oleh karena itu dia diracun oleh Bani Marwan. [4] 

  1. Yazid II bin Abdul Malik (101-105 H/720-724 M).
Umar II digantikan oleh Yazid II, anak ketiga Abdul Malik. Pemerintahannya ditandai dengan bangkitnya kembali konflik antara kaum Mudhariyah dengan Yamaniyah. Yazid menikah dengan kemenakan Hajjaj dan seluruh rasa senang dan simpatinya adalah kepada pihak Mudhariyah. Umar II dengan saksama mempertahankan keseimbangan di antara kedua suku yang bersaing itu. Dibawah Yazid, kaum Yamaniyah harus menerima seluruh pembalasan dari kaum Mudhariyah. Hal ini sebagian merupakan kebijakan yang kasar, kalau tidak disebut kejam, yang telah diikuti dibawah pemerintahan Sulaiman oleh Yazid bin Muhallib terhadap keluarga Hajjaj supaya mereka mengeluarkan apa yang diperoleh mereka secara tidak benar. Dalam masa pemerintahan Umar II, Yazid bin Muhallib dimasukkan ke penjara. Ketika Yazid mendengar dalam penjaranya di Alepo bahwa Umar II sakit, dia menyuap para penjaga dan melarikan diri ke Irak. Disana dia mengibarkan panji pemberontakan terhadap khalifah Yazid II yang baru naik tahta, yang dianggapnya sebagai musuh besarnya.
                      Yazid ternyata seorang raja yang tidak berharga. Kaum Khawarij yang selama pemerintahan terakhir telah menahan diri dari tindakan-tindakan agresif, sekarang menyatakan menentang orang yang mereka anggap sebagai seorang tiran yang tidak adil dan kafir. Pemerintahan Yazid yang singkat hanya mempercepat proses kehancuran imperium Umayah. Pada waktu inilah propaganda bagi keturunan Bani Abbas mulai dilancarkan secara aktif.[5]
  1. Hisyam bin Abdul Malik (105-125 H/723-742 M).
Dia bernama Hisyam bin Abdul Malik, sebuatannya Abu al-Walid. Lahir pada tahun 70-an (Hijriyyah). Hisyam adalah seorang yang keras kemauan dan berpikiran cemerlang. Dia tidak pernah memasukkan harta ke dalam Baitul Mal sebelum empat puluh pembagi harta sedekah menyaksikannya. Kemudian dia mengambil haknya dan memberikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya.
            Setelah kemtaian Yazid II, saudaranya Hisyam naik tahta. Pada saat naik tahta dia harus menghadapi kesulitan-kesulitan yang serius. Kedamaian dan kesentosaan imperium itu terganggu oleh perselisihan-perselisihan antara Bani Umayyah dan Bani Hasyim. Propaganda Abbasiyah telah menyiratkan nasib dinasti itu. Pemerintahannya yang lunak dan jujur banyak jasanya dalam pemulihan bagi keamanan dan kemakmuran, tetapi kebajikannya tidak bisa membayar kesalahan-kesalahan para pendahulunya dan dinasti itu sedang menurun kearah kejatuhan yang tidak menyenangkan. Pada saat-saat yang paling berbahaya ini muncul sejumlah kesulitan lainnya yaitu serbuan orang-orang Turkoman dan Khazar dari Utara, persaingan antara Kaum Mudhariyah dan kaum Yamaniyah (Himyariyah) dan bangkitnya kaum Khawarij yang fanatik.
            Yang lebih berbahaya selama menyangkut Bani Umayyah ialah munculnya gerakan Bani Abbasiyah yang menentang dinasti mereka. Gerakan Abbasiyah memobilisasi semua unsur yang merasa tidak puas dan dengan bantuan dan kerja sama mereka, suatu pukulan yang mematikan diberikan terhadap imperium yang sedang terhuyung-huyung itu. Pemimpin gerakan ini adalah Muahammad, cicit Abbas paman Nabi sendiri. Muhammad dengan cerdik mengajukan tuntutan Bani Hasyim atas tahta serta menentang bani Umayyah yang tidak bisa dipercaya dengan terus menerus menekankan ketidak acuhannya terhadap tujuan Islam. Kaum Syiah dan Khawarij serta orang-orang Islam yang taat beragama maupun masyarakat banyak, sangat mendukung gerakan Abbasiyah dengan harapan agar mereka dibebaskan dari siksaan-siksaan dan keburukan pemerintahan bani Umayyah. Demikianlah bani Hasyim dipersatukan oleh tujuan bersama untuk menentang Bani Umayyah. [6]

  1. Al-Walid II bin Yazid II (125-126 H/742-743 M).
Dia bernama Walid bin Yazid bin Abdul Malik bin Marwan bin Al-Hakam. Seorang khalifah yang fasik. Sebutannya Abu Al-Abbas. dia dilahirkan pada tahun 90 H. Saat ayahnya meninggal, tidak mungkin dirinya untuk menggantikannya karena dia masih kanak-kanak. Yazid menyerahkan kekhilafahan pada saudaranya, Hisyam bin Abdul Malik. Sedangkan Al-Walid dijadikan sebagai putra mahkota setelah pemerintahan Hisyam. Dia menerima kepemimpinan ini dari Hisyam pada bulan Rabiul Akhir tahun 125 H.
Dia adalah seorang yang fasik, peminum khamr dan banyak merusak aturan-aturan Allah. Suatu saat dia ingin menunaikan ibadah haji dengan tujuan meminum khamr diatas ka’bah. Karena kefasikannya, banyak orang yang membencinya hingga ke tulang sumsum dan melakukan pemberontakan kepada pemerintahannya. Pada permulaannya dia menunjukkan kebaikan-kebaikan kepada fakir miskin, orang lemah dan jompo, dan karena itu dia memperoleh popularitas. Akan tetapi, kepopuleran ini terhapus dan digugurkan oleh temperamennya yang cepat berubah dan sifat pendendamnya yang sering berakhir dalam perbuatan jahat. Dia ternyata sangat kejam terhadap saudara-saudara sepupunya, anak-anak Walid. Khalid al-Qasri diserahkannya kepada musuhnya yang jahat, Yusuf yang membunuhnya. Pada masa pemerintahan inilah Yahya, anak Zaid dari Bani Ali dibunuh dengan kejam. Walid yang tidak senonoh dan tidak bermoral itu segera kehilangan simpati rakyat. Yazid, anak Walid bangkit memberontak terhadapnya. Orang-orang Yamamah yang sangat menderita oleh Walid dengan sepenuh hati mendukung Yazid. Rakyat menyerang istananya dan membunuhnya. Dia terbunuh pada bulan Jumadil Akhir tahun 126 H.

  1.  Yazid Bin Walid Bin Malik (Yazid III) (126 H/744 M).
            Setelah kematian Walid II, Yazid diangkat untuk menduduki tahta. Dia diberi gelar An-Naqish (yang mengurangi), disebabkan ia mengurangi gaji para tentara. Dia berhasil duduk di atas kursi khilafah dengan tenang dan berhasil membunuh anak pamannya Al-Walid bin Yazid. Dia adalah penguasa yang adil dan takwa. Dia menghapuskan pajak-pajak tertentu dan memberhentikan pejabat-pejabat negara yang tidak jujur. “seandainya dia hidup cukup lama, mungkin dia akan mampu membuktikan pemerintahan yang cakap. Akan tetapi, pemerintahannya terlalu singkat dan terlalu banyak gangguan untuk melakukan pembaruan atau perbaikan”. Dia meninggal dunia setelah memerintah selama enam bulan. Dia digantikan oleh saudaranya, Ibrahim yang hanya memerintah 2 bulan 10 hari. Dia tidak termasuk ke dalam kategori khalifah. [7]
  1. Ibrahim bin Al-Walid II (126-127H/743-744 M).                 
                        Dia bernama Ibrahim bin Al-Walid bin Abdul Malik. Sebutannya Abu Ishaq. Dia dibaiat sebagai khalifah setelah kematian saudaranya Yazid an-Naqish. Ada yang mengatakan bahwa duduknya dia sebagai khalifah karena adanya wasiat dari saudaranya, sementara yang lain mengatakan bahwa tidak ada wasiat dari saudaranya itu. Ibrahim duduk sebagai khalifah hanya dalam waktu tujuh puluh hari. Kemudian dicabutlah kekuasaannya. Marwan bin Muhammad memberontak dan Ibrahim melarikan diri. Kemudian dia datang kembali dan menyatakan bahwa dirinya melepaskan khilafah secara suka rela dan menyerahkannya kepada Marwan.
                        Setelah peristiwa itu Ibrahim hidup hingga tahun 132 H. Disebutkan bahwa dia termasuk salah seorang yang dibunuh oleh As-Saffah khalifah pertama Bani Abbasiyah. Dalam Tarikh Ibnu Asakir disebutkan bahwa Ibrahim mendengar dari Az-Zuhri, dia menceritakan dari pamannya, Hisyam bahwa Ibrahim dicopot pada Hari senin, tanggal 14 shaffar tahun 129 H. Aal-Madani berkata Ibrahim tidak memiliki kekuasaan penuh, sebagian kaumnya menyerahkan kekuasaan kepadanya, sebagian lagi menyerahkan kegubernuran, sebagian lagi tidak mau membaiatnya.[8]
  1.  Marwan Al-Himar (Marwan II) (127-132 H/744-750 M).
                        Ia adalah khalifah terakhir Bani Umayyah. Dia dikenal dengan sebutan Abu Abdul Malik. Dia adalah anak Muhammad bin Marwan bin Al-Hakam. Dia diberi gelar Al-Ja’di sebagai penisbatan kepada orang yang mengajari tata krama yang bernama al-Ja’ad bin Dirham. Sedangkan al-Himar (keledai) karena dia sangat sabar dalam menghadapi musuh-musuhnya yang memberontak. Dia mengambil tindakan yang sangat hati-hati dan sabar atas semua beban perang yang ditanggungnya. Sedangkan dalam pribahasa disebutkan Fulan itu lebih sabar daripada keledai di dalam peperangan. Karena kesabarannya, dia disebut oleh kawan dan lawan politiknya sebagai al-Himar. Dan tatkala pemerintahan Bani Umayyah mendekati umurnya yang keseratus dan dipimpin oleh Marwan, maka mereka memberi gelar Marwan dengan Himar.
            Marwan dilahirkan di Jazirah (wilayah Hijaz). Ayahnya adalah orang yang mendapat pekerjaan untuk memegang kendali kekuasaan di wilayah tersebut pada tahun 72 H. Sedangkan ibunya adalah mantan budak yang dibebaskan berkat perkawinannya dengan ayahnya. 
                        Marwan II naik tahta ketika Bani Umayyah sedang mengalami masa yang penuh pergolakan dan perselisihan. Kekuatan-kekuatan yang sedang berselisih itu ia berusaha untuk meruntuhkannya. Kaum Yamaniyah yang gagal memperoleh keuntungan darinya tetap memusuhinya. Mereka bangkit menentang kekuasaanya kapan saja hal itu dapat ditaklukkan. Kaum khawarij berusaha menimbulkan gangguan-gangguan di berbagai bagian negeri itu. Propaganda Abbasiyah juga menyebar luas dengan lebih intensif di bagian timur imperium itu. Sebagai akibat dari kerusuhan-kerusuhan ini, Hims dan Palestina mula-mula memberontak, yang ditindas dengan susah payah. Kaum Khawarij memberontak di Irak, yang di ikuti dengan pemberontakan-pemberontakan dan perlawanan-perlawanan di berbagai bagian imperium itu.
                        Pusat kerusuhan yang utama ialah Khurasan, tempat Bani Abbas memusatkan kegiatannya. Pertengkaran antara kaum Himyariyah dan Mudhariyah berlangsung sengit. Kaum Abbasiyah memanfaatkan sebaik-baiknya keadaan anarkis ini di sebelah timur. Abu Muslim, pemimpin Bani Abbas memancangkan panji-panji Abbasiyyah dengan berhasil di berbagai kota di sebelah timur itu. Abu Muslim mengeluarkan suatu manifesto yang mengajak para pengikut Hasyimiyah untuk bangkit. Pada tanggal 25 Ramadhan 129 H (Mei 747 M) rakyat dikumpulkan dan orang-orang banyak yang berpakaian hitam sebagai tanda berduka cita bagi ketua-ketua mereka yang gugur atau dibunuh, berduyun-duyun menuju puncak bukit yang diterangi dengan api-api unggun yang besar. Bendera Hitam Bani Abbas dikibarkan. Tentara pendudukan Umayyah dipukul mundur dari Herat dan tempat-tempat lainnya di Timur jauh. Di depan pasukan suku Yamani, Abu Muslim memasuki Merv (ibu kota khurasan). Nasr gubernur khurasan dikalahkan Kahtaba, Jenderal Tentara Abu Muslim. Nasr meminta bantuan kepada Marwan. Marwan begitu sibuk menghadapi kaum Khawarij sehingga dia tidak bisa memenuhi permintaan Nasr dengan segera. Namun, Marwan memerintahkan raja muda Irak untuk mengirimkan bala bantuan kepada Nasr. Akan tetapi, bala bantuan itu datang terlambat. Khurasan dan Farghana telah jatuh seluruhnya ke tangan Abu Muslim. Kahtaba mengejar Nasr dan mengalahkannya serta menjatuhkan sama sekali semangat kesatuan Siria. Kemudian Nasr melarikan diri ke Fars, tetapi dia meninggal di tengah jalan.
                        Sementara itu, keadaan politik provinsi-provinsi sebelah Timur mulai memburuk. Marwan mengangkat mata-mata untuk mencari orang yang menjadi organisator kerusuhan itu. Ditemukanlah bahwa keturunan Abbas, Ibrahim adalah orang yang menjadi atasan Abu Muslim. Marwan menyuruh dia ditangkap. Akan tetapi, hal ini tidak berpengaruh terhadap nasib baik gerakan Abbasiyah. Kahtaba, Jenderal Abu Muslim yang termasyur itu kemudian maju ke sebelah barat. Dia disertai oleh Khalid bin Barmak yang menjadi pendiri Wangsa Barmakid. Mereka menyebrangi Sungai Eufrat dan sampai ke Medan Karbala, tempat Imam Hussain gugur di dalam pertempuran. Berkobarlah pertempuran yang dahsyat dan yang penuh harapan itu. Yazid, Gubernur Bani Umayyah untuk Irak, dikalahkan. Kahtaba mati tenggelam di sungai atau gugur di medan tempur. Anaknya, Hasan mengambil alih komando dan memaksa Yazid untuk mundur ke Wasit. Dengan demikian, Kufa dapat direbut.
            Tidak lama kemudian, Ibrahim meninggal tertimpa sebuah rumah yang ambruk. Sebelum meninggal, Ibrahim mencalonkan saudaranya Abdullah Abdul Abbas sebagai penggantinya. Dengan demikian, dalam bulan Oktober 749 M Abdul Abbas dinyatakan di Masjid Kufa sebagai khalifah seluruh imperium Muslim. Abu Salama yang menjadi salah seorang agen Hasyimiyah yang sibuk di Khurasan, ditunjuk sebagai “Wazir keluarga Muhammad”. Abdul Abbas me'nerima gelar “As-Saffah” yang artinya si Haus Darah”.
                        Sementara itu, peristiwa-peristiwa berlangsung dengan cepat di Timur pada tahun 749 M Anak Marwan dikalahkan oleh Abu Ayun. Marwan memutuskan untuk bertempur dalam pertempuran terakhir yang nekat melawan Abbasiyah. Dia mengumpulkan suatu pasukan yang kuat terdiri atas 120.000 tentara dan menyebrangi Sungai Tigris serta maju menuju Zab Besar. Kesatuan-kesatuan Abbasiyah dipimpin oleh Abdullah bin Ali, paman khalifah. Disini, pasukan Siria dikalahkan dan Marwan melarikan diri. Di Damaskus Bani Umayyah memberikan suatu perlawanan, tetapi kota itu direbut, gubernurnya dibunuh dan ibu kota Siria serta seluruh imperium beralih ke tangan Abbasiyah. Marwan diburu dari satu tempat ke tempat yang lain. Akhirnya, dia ditemukan di Mesir dan dibunuh disana. Dengan demikian, berakhirlah karier salah seorang penguasa yang penuh semangat pada zamannya dan dengan begitu binasalah Bani Umayyah.[9]


B.     Faktor-Faktor Penyebab Mundurnya Bani Umayyah I Damaskus
1.      Faktor Internal
Sistem monarki yang dipakai oleh pemerintahan Bani Umayyah dalam proses peralihan kepemimpinan memberikan pengaruh paling besar terhadap faktor lemah dan hancurnya Bani Umayyah I adalah putra mahkota yang diangkat menjadi khlaifah pengganti khalifah sebelumnyamasih kecil dan kurang professional. Khalifah-khalifah tersebut tidak bisa melakukan kebijakan-kebijakan bahkan tidak dapat memberikan satu pemikiran untuk perkembangan pemerintahan kedepan. Mereka seperti boneka yang siap dipermainkan kapan dan dimana saja, sehingga yang mengendalikan pemerintahan adalah para pembesar istana seperti perdana menteri, pengawal istana, dan pengawal khalifah. Serta perilaku amoral dari para khalifah dan pembesar khalifah Bani Umayyah termasuk faktor internal yang ikut memberi pengaruh terhadap hancurnya Bani Umayyah I.
2.      Faktor Eksternal
Munculnya kekuatan Bani Abbasiyah ditandai oleh ahli sejarah sebagai persaingan politik terhadap Bani Umayyah I yang pada saat itu telah menurun hampir di semua wilayah kekuasaannya. Serang menyerang antara Bani Umayyah I dengan kekuatan baru Abbasiyyah menambah dan mempercepat faktor lemah Bani Umayyah I. Perkembangan kekuasaan lain di luar Abbasiyah seperti kerajaan nasrani di Eropa dan kekuasaan Persia dan Byzantium di wilayah timur menjadi kekuatan-kekuatan di luar Abbasiyah yang menantang kekuasaan Umayyah I. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa faktor eksternal penyebab hancurnya Bani Umayyah I adalah munculnya kekuatan Abbasiyah, Persia, dan kerajaan-kerajaan nasrani. Munculnya kekuatan-kekuatan baru tersebut sekaligus menjadi penentang bagi kekuasaan Bani Umayyah I Andalusia.

1.      Faktor-Faktor Pemicu Munculnya Pemberontakan
Pemberontakan yang terjadi terhadap pemerintahan yang sah adalah hal yang biasa dan sering terjadi pada masa Islam Klasik, mulai Bani Umayyah I sampai runtuhnya kekhalifahan Turki Usmani tahun 1816-1818 M, ketika terjadi perang terbuka melawan pasukan Nato di Skandinavia.
Penyebab terjadinya faktor pemicu pemberontakan masa Bani Umayyah I bermacam-macam, diantaranya adalah :
a.       Perebutan kekuasaan
Faktor perebutan kekuasaan yang memicu adanya pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah merupakan faktor dominan. Hal ini terjadi karena putra mahkota lebih dari satu pada satu periode, sehingga sering terjadi perebutan siapa yang akan lebih dahulu menjadi khalifah menggantikan posisi khalifah sebelumnya. Kasus perebutan kekuasaan awalnya terjadi karena Muawwiyah tidak suka dengan pemerintahannya Ali pada pemerintahan khulafaur rasyidin ke-empat.
Perebutan yang dilakukan oleh Muawiyah terhadap Ali dilakukan dengan berbagai cara, yang pada akhirnya memfungsikan kelompok khawarij yang fundamental membunuh Ali dengan cara ditusuk pada saat sholat subuh. Pada masa-masa pemerintahan Bani Umayyah selanjutnya, pemberontakan terjadi hampir di setiap pemerintah (khalifah yang berkuasa), seperti pemberontakan dari gerakan syiah, pemberontakan Abdullah bin Zubair dari kelompok khawarij, Mu’tazilah, Jabariyah dan Qadariyah.
b.      Dendam
Faktor dendam termasuk faktor yang sering terjadi memicu pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah. Contoh dalam kasus Muawiyah dengan Ali, karena Muawiyah yakin bahwa terbunuhnya saudaranya Usman bin Affan, Ali ikut terlibat, sehingga ia menaruh dendam terhadap Ali. Muawiyah melakukan berbagai cara untuk menurunkan Ali dari pemerintahannya.
c.       Harta Kekayaan Yang Melimpah
Pemerintahan islam abad klasik adalah pemerintahan yang kaya dengan harta. Hal ini disebabkan karena umat islam pada masa itu selalu memenangkan perang sehingga pemerintahan yang kalah harus bayar Ghonimah kepada Islam.
Karena di Baitul Maal tersimpan harta yang banyak, maka sering menjadi perebutan bagi umat islam untuk berkuasa.
2.      Kelebihan dan Kekurangan Bani Umayyah
Karena yang membangun dan membesarkan kerajaan Bani Umayyah I adalah manusia biasa, maka sudah barang tentu ada faktor kelebihan dan kekurangannya.
Faktor kekurangan dari Bani Umayyah I :
a.       Memakai sistem peralihan kekuasaan Monarki, yang menyebabkan putra mahkota yang masih kecil dan tidak professional menjadi khalifah.
b.      Banyak wilayah baru yang ditaklukkan, tetapi tidak dibina secara intensif.
c.       Banyak kasus penyelewengan dalam istana yang tidak ditindak dengan tegas oleh pemerintah, seperti korupsi dan nepotisme.
d.      Pengangkatan dua putra mahkota dalam satu tahun pemerintahan, yang terjadi pada khalifah ke-12 Yazid bin Walid dan ke-13 Sulaiman bin Walid, oleh masyarakat bahwa hal yang terjadi seperti itu menunjukkan ketidak tegasan dari pemerintahan Bani Umayyah I.
Adapun faktor kelebihan Bani Umayyah I diantaranya adalah :
a.       Sikap berani dan tegas dari beberapa khalifah Bani Umayyah, seperti Muawiyyah, Marwan, Abdul Malik, dan Walid bin Abdul Malik.
b.      Sikap adil, jujur, dan religius dari khalifah Umar bin Abdul Aziz.
c.       Pola pengembangan budaya dengan pendekatan Arabisasi (arab oriented) yang di dukung oleh mayoritas masyarakat pada masa itu.
d.      Sikap berani berperang dari kaum muslim yang menyebabkan umat islam banyak mendapat kemenangan pada saat perluasan wilayah serta banyak mendapatkan ghanimah dan upeti.

C.    Proses Runtuhnya Bani Umayyah I di Damaskus
1.      Sikap tidak senang masyarakat terhadap khalifah-khalifah Bani Umayyah I
Ketidak senangan masyarakat islam terhadap pemerintahan Bani Umayyah I disebabkan oleh praktik-praktik rusaknya akhlak dari para khalifah melalui acara-acara seremonial yang dilaksanakan di dalam istana dengan alasan untuk menghibur para pembesar-pembesar istana. Acara tahunan tersebut dilakukan secara rutin. Acara seremonial tersebut di atas termasuk faktor internal yang banyak berpengaruh terhadap proses lemahnya Bani Umayyah I. Perebutan kekuasaan dalam istana juga termasuk faktor internal penyebab lemahnya Bani Umayyah I seperti yang terjadi pada masa pemerintahan setalah khalifah yang ke-12 Walid bin Yazid yang wafat tahun 126 H. Pada tahun tersebut masyarakat saling mengklaim mengangkat dua putra mahkota dari Walid, yaitu Yazid bin Walid dan Ibrahim bin Walid. Selama satu tahun berjalan masyarakat tidak dapat menetapkan siapa yang menjadi khalifah menggantikan bapaknya, tetapi yang terjadi adalah bentrok dan pertikaian antar keluarga istana. Kondisi demikian menimbulkan respon buruk masyarkat terhadap pemerintahan Bani Umayyah I.
2.      Peperangan melawan keturunan Abbasiyah
Lemahnya pemerintahan Bani Umayyah I terjadi hampir di semua wilayah kekuasaan, sementara kekuatan baru yang baru muncul sebagai lawan politik yaitu Abbasiyah sedang berkembang pesat dengan mendapat sambutan dan dukungan dari masyarakat Islam. Abu Abbas pemimpin Abbasiyah yang baru menguasai berbagai wilayah Umayyah dibantu oleh tentara bayarannya Abu Muslim Al-Khurasani. BanI Umayyah I hanya bisa bertahan di daerah Al-Zab, wilayah pesisir laut merah bersebrangan dengan pesisir sungai Nil. Pertemuan kedua belah pihak tidak bisa dielakkan dan terjadilah pertempuran Al-Zab tahun 132 H atau tahun 750 Masehi. Dalam pertempuran itu, Bani Umayyah I kalah dan khalifah terakhir (ke-14) Marwan bin Muhammad melarikan diri ke Mesir. Marwan dikejar oleh pengikut Abu Abbas yang kemudian ditangkap dan dibunuh di Mesir. Mayatnya Marwan dikembalikan ke Madinah dan dikuburkan di Madinah. Kekalhan Bani Umayyah I di Al-Zab sekaligus mengakhiri masa pemerintahan Bani Umayyah I dan sekaligus di proklamirkan berdiri kekuasaan baru yaitu Bani Abbasiyah.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, faktor-faktor penyebab kemunduran Bani Umayyah I adalah :
a.       Sistem pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah merupakan sesuatu yang baru bagi tradisi bangsa Arab yang lebih menekankan aspek senioritas. Pengaturannya tidak jelas dan menyebabkan terjadinya persaingan tidak sehat di kalangan istana.
b.      Latar belakang terbentuknya Bani Umayyah I tidak bisa dipisahkan dari konflik-konflik politik yang terjadi pada masa pemerintahan khalifah Ali. Sisa-sisa pengikut Ali (syiah) dan khawarij terus menjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka seperti pada masa awal maupun secara tersembunyi seperti pada masa pertengahan Bani Umayyah.
c.       Pada masa kekuasaan Bani Umayyah I, pertentangan etnis antara suku Arabia utara dan Arabia selatan yang sudah ada sejak zaman sebelum islam makin meruncing. Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa Bani Umayyah I mendapat kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan. Disamping itu sebagian besar golongan Mawali (non-arab), terutama Irak dan wilayah timur lainnya, merasa tidak puas karena status mawali itu menggambarkan sesuatu inferioritas, ditambah dengan keangkuhan bangsa arab yang diperlihatkan pada masa Bani Umayyah I.
d.      Lemahnya pemerintahan Bani Umayyah juga disebabkan oleh sikap hidup mewah di lingkungan istana sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan. Di samping itu golongan agama banyak yang kecewa karena perhatian penguasa terhadap perkembangan agama sangat kurang.
e.       Penyebab langsung jatuhnya Bani Umayyah I adalah munculnya kekuatan baru yang dipelopori Abu Abbas Asy-Syaffah. Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan golongan syiah dan kaum mawali yang merasa di kelasduakan oleh pemerintahan Bani Umayyah I.[10]  






















Analisis Makalah
1.      Marwan Al-Himar (Marwan II) (127-132 H/744-750 M).
                        Ia adalah khalifah terakhir Bani Umayyah. Dia dikenal dengan sebutan Abu Abdul Malik. Dia adalah anak Muhammad bin Marwan bin Al-Hakam. Dia diberi gelar Al-Ja’di sebagai penisbatan kepada orang yang mengajari tata krama yang bernama al-Ja’ad bin Dirham. Sedangkan al-Himar (keledai) karena dia sangat sabar dalam menghadapi musuh-musuhnya yang memberontak. Dia mengambil tindakan yang sangat hati-hati dan sabar atas semua beban perang yang ditanggungnya. Sedangkan dalam pribahasa disebutkan Fulan itu lebih sabar daripada keledai di dalam peperangan. Karena kesabarannya, dia disebut oleh kawan dan lawan politiknya sebagai al-Himar. Dan tatkala pemerintahan Bani Umayyah mendekati umurnya yang keseratus dan dipimpin oleh Marwan, maka mereka memberi gelar Marwan dengan Himar.
            Marwan dilahirkan di Jazirah (wilayah Hijaz). Ayahnya adalah orang yang mendapat pekerjaan untuk memegang kendali kekuasaan di wilayah tersebut pada tahun 72 H. Sedangkan ibunya adalah mantan budak yang dibebaskan berkat perkawinannya dengan ayahnya. 
                        Marwan II naik tahta ketika Bani Umayyah sedang mengalami masa yang penuh pergolakan dan perselisihan. Kekuatan-kekuatan yang sedang berselisih itu ia berusaha untuk meruntuhkannya. Kaum Yamaniyah yang gagal memperoleh keuntungan darinya tetap memusuhinya. Mereka bangkit menentang kekuasaanya kapan saja hal itu dapat ditaklukkan. Kaum khawarij berusaha menimbulkan gangguan-gangguan di berbagai bagian negeri itu. Propaganda Abbasiyah juga menyebar luas dengan lebih intensif di bagian timur imperium itu. Sebagai akibat dari kerusuhan-kerusuhan ini, Hims dan Palestina mula-mula memberontak, yang ditindas dengan susah payah. Kaum Khawarij memberontak di Irak, yang di ikuti dengan pemberontakan-pemberontakan dan perlawanan-perlawanan di berbagai bagian imperium itu.
                        Pusat kerusuhan yang utama ialah Khurasan, tempat Bani Abbas memusatkan kegiatannya. Pertengkaran antara kaum Himyariyah dan Mudhariyah berlangsung sengit. Kaum Abbasiyah memanfaatkan sebaik-baiknya keadaan anarkis ini di sebelah timur. Abu Muslim, pemimpin Bani Abbas memancangkan panji-panji Abbasiyyah dengan berhasil di berbagai kota di sebelah timur itu. Abu Muslim mengeluarkan suatu manifesto yang mengajak para pengikut Hasyimiyah untuk bangkit. Pada tanggal 25 Ramadhan 129 H (Mei 747 M) rakyat dikumpulkan dan orang-orang banyak yang berpakaian hitam sebagai tanda berduka cita bagi ketua-ketua mereka yang gugur atau dibunuh, berduyun-duyun menuju puncak bukit yang diterangi dengan api-api unggun yang besar. Bendera Hitam Bani Abbas dikibarkan. Tentara pendudukan Umayyah dipukul mundur dari Herat dan tempat-tempat lainnya di Timur jauh. Di depan pasukan suku Yamani, Abu Muslim memasuki Merv (ibu kota khurasan). Nasr gubernur khurasan dikalahkan Kahtaba, Jenderal Tentara Abu Muslim. Nasr meminta bantuan kepada Marwan. Marwan begitu sibuk menghadapi kaum Khawarij sehingga dia tidak bisa memenuhi permintaan Nasr dengan segera. Namun, Marwan memerintahkan raja muda Irak untuk mengirimkan bala bantuan kepada Nasr. Akan tetapi, bala bantuan itu datang terlambat. Khurasan dan Farghana telah jatuh seluruhnya ke tangan Abu Muslim. Kahtaba mengejar Nasr dan mengalahkannya serta menjatuhkan sama sekali semangat kesatuan Siria. Kemudian Nasr melarikan diri ke Fars, tetapi dia meninggal di tengah jalan.
                        Sementara itu, keadaan politik provinsi-provinsi sebelah Timur mulai memburuk. Marwan mengangkat mata-mata untuk mencari orang yang menjadi organisator kerusuhan itu. Ditemukanlah bahwa keturunan Abbas, Ibrahim adalah orang yang menjadi atasan Abu Muslim. Marwan menyuruh dia ditangkap. Akan tetapi, hal ini tidak berpengaruh terhadap nasib baik gerakan Abbasiyah. Kahtaba, Jenderal Abu Muslim yang termasyur itu kemudian maju ke sebelah barat. Dia disertai oleh Khalid bin Barmak yang menjadi pendiri Wangsa Barmakid. Mereka menyebrangi Sungai Eufrat dan sampai ke Medan Karbala, tempat Imam Hussain gugur di dalam pertempuran. Berkobarlah pertempuran yang dahsyat dan yang penuh harapan itu. Yazid, Gubernur Bani Umayyah untuk Irak, dikalahkan. Kahtaba mati tenggelam di sungai atau gugur di medan tempur. Anaknya, Hasan mengambil alih komando dan memaksa Yazid untuk mundur ke Wasit. Dengan demikian, Kufa dapat direbut.
           
                        Sementara itu, peristiwa-peristiwa berlangsung dengan cepat di Timur pada tahun 749 M Anak Marwan dikalahkan oleh Abu Ayun. Marwan memutuskan untuk bertempur dalam pertempuran terakhir yang nekat melawan Abbasiyah. Dia mengumpulkan suatu pasukan yang kuat terdiri atas 120.000 tentara dan menyebrangi Sungai Tigris serta maju menuju Zab Besar. Kesatuan-kesatuan Abbasiyah dipimpin oleh Abdullah bin Ali, paman khalifah. Disini, pasukan Siria dikalahkan dan Marwan melarikan diri. Di Damaskus Bani Umayyah memberikan suatu perlawanan, tetapi kota itu direbut, gubernurnya dibunuh dan ibu kota Siria serta seluruh imperium beralih ke tangan Abbasiyah. Marwan diburu dari satu tempat ke tempat yang lain. Akhirnya, dia ditemukan di Mesir dan dibunuh disana. Dengan demikian, berakhirlah karier salah seorang penguasa yang penuh semangat pada zamannya dan dengan begitu binasalah Bani Umayyah.

  























BAB III. PENUTUP
1.      Kesimpulan
Masa kekuasaan dinasti Umayyah berlangsung hampir satu abad, tepatnya selama 90 Tahun, dengan 14 orang khalifah. Khalifah pertama yaitu Muawwiyah bin Abu Sufyan sedangkan khalifah yang terakhir adalah Marwan bin Muhammad. Di antara mereka pemimpin-pemimpin besar yang berjasa di berbagai bidang sesuai dengan kehendak zamannya, sebaliknya ada pula khalifah yang tidak patut dan lemah. Adapun urutan khalifah Umayyah adalah sebagai berikut :
1.                      Muawwiyah I bin Abi Sufyan (41-60 H/661-679 M).
2.                      Yazid I bin Muawwiyah (60-64 H/679-683 M).
3.                      Muawwiyah II bin Yazid (64 H/683 M).
4.                      Marwan I bin Hakam (64-65 H/683-684 M).
5.                      Abdul Malik bin Marwan (65-86 H/684-705 M).
6.                      Al-Walid I bin Abdul Malik (86-96 H/705-714 M).
7.                      Sulaiman bin Abdul Malik (96-99 H/714-717 M).
8.                      Umar bin Abdul Aziz (99-101 H/717-719 M).
9.                      Yazid II bin Abdul Malik (101-105 H/719-723 M).
10.                  Hisyam bin Abdul Malik (105-125 H/723-742 M).
11.                  Al-Walid II bin Yazid II (125-126 H/742-743 M).
12.                  Yazid bin Walid bin Malik (126 H/743 M).
13.                  Ibrahim bin Al-Walid II (126-127 H/743-744 M).
14.                  Marwan II bin Muhammad (127-132 H/744-750 M).
Adapun beberapa faktor yang menyebabkan mundurnya Bani Umayyah I di Damaskus yang dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Sedangkan proses runtuhnya Bani Umayyah I di Damaskus antara lain seperti sikap tidak senang masyarakat terhadap khalifah-khalifah Bani Umayyah I, Peperangan melawan keturunan Abbasiyah.




  
DAFTAR PUSTAKA
Mahmudunnasir, Syed. 2005. Islam konsepsi dan sejarahnya. Bandung: PT REMAJA ROSADAKARYA.
As-Suyuti, Imam. 2001. Tarikh Khulafa’. Jakarta Timur: Pustaka Al-Kausar.
Satrawi, Hasibullah. 2015. Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta: Kementrian Agama.
Amin, Samsul Munir. 2015. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah.



[1] Muhammad Zuhri, Tarjamah Tarikh Tasyri’ Al-Islami, (Daarul Ihya: 1980) hlm. 395
[2] Syed Mahmudunnasir. Islam Konsepsi dan Sejarahnya. (Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2005). Hlm 191-192
[3] Samsul Munir Amin. Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta: Amzah, 2015). Hlm 127-128
[4] Imam As-Suyuthi. Tarikh Khulafa’. (Jakarta Utara: Darul Khathab al-Ilmiyah, 2001). Hlm 292
[5] Syed Mahmudunnasir. Islam Konsepsi dan Sejarahnya. (Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2005).hlm 195-196
[6] Imam As-Suyuthi. Tarikh Khulafa’.(Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2001).hlm294 dan Syed Mahmudunnasir. Islam Konsepsi dan Sejarahnya. (Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2005).hlm 196-197

[7] Ibid. Hlm 201
[8] Imam As-Suyuthi. Tarikh Khulafa’. (Jakarta Timur: Darul Khathab al-Ilmiyah, 2001). Hlm 303-304
[9] Syed Mahmudunnasir. Islam konsepsi dan Sejarahnya. (Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 1993). Hlm 201-203
[10] Hasibullah Satrawi, Muhtadin. Sejarah Kebudayaan Islam. 2015. Hlm 38-42

Komentar