Tasyri' pada masa awal abad ke-2 sampai abad ke-4 Hijriah
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Tasyri’ memiliki sejarah pertumbuhan
dan perkembangan dari masa ke masa setapak demi setapak menuju kesempurnaannya
dan selalu sesuai dengan kondisi masyarakatnya. Sejarah tasyri’ berkembang
sejak adanya islam, yaitu sejak masa Rasulullah SAW. Sampai dengan sekarang.
Tasyri’ terbentuk sesuai dengan keperluan yang dibutuhkan masyarakat untuk
mengatur kehidupan demi mencapai kesejahteraan hidup, baik di dunia maupun di
akhirat.
Pada masa Rasulullah saw,
permasalahan di masyarakat belum begitu banyak. Segala permasalahan diserahkan
kepada beliau yang berpedoman dengan Al-Qur’an dan Hadis. Akan tetapi, setelah
wilayah islam menjadi luas dan menghadapi berbagai permasalahan baru, maka
dasar tasyri’ menjadi berkembang, yaitu menggunakan al-qur’an, hadis dan
ijtihad. Dari ijtihad inilah muncul berbagai metode sesuai dengan karakter
permasalahan yang dihadapi dan sesuai dengan metode yang ditemukan para
mujtahid.
Ijtihad adalah mengerahkan
kesungguhan dalam mengeluarkan hukum syara’ dari apa yang dianggap syari’
sebagai dalil yaitu kitabullah dan sunnah Nabinya. Pengeluaran hukum pada masa
itu terbatas pada fatwa-fatwa yang difatwakan oleh orang yang ditanya tentang
suatu peristiwa. Mereka tidak meluaskan dalam menetapkan masalah-masalah dan
menjawabnya, bahkan mereka tidak menyenangi hal itu dan mereka tidak
menampakkan pendapat tentang sesuatu sebelum sesuatu itu terjadi. Jika sesuatu
itu terjadi maka mereka ijtihad untuk mengistimbatkan hukumnya.
B.
Rumusan
Masalah
a. Faktor
penyebab mundurnya Dinasti Umayyah di Damaskus ?
b. Bagaimana
proses munculnya Dinasti Abbasiyah pada masa awal abad ke-II sampai ke- IV H ?
c. Apa
saja sumber tasyri’ pada masa ini ?
d. Bagaimana
pola ijtihad pada masa ini ?
C.
Tujuan
a. Untuk
mengetahui faktor penyebab mundurnya Dinasti Umayyah di Damaskus.
b. Mengetahui
proses munculnya Dinasti Abbasiyah.
c. Mengetahui
sumber tasyri’ pada abad ini.
d. Mengetahui
pola ijtihad pada periode ini.
D.
Kerangka
Teoritis
Pertentangan-pertentangan
dalam materi fiqh merupakan sebab kesibukan ulama untuk menyusun ilmu yang
mereka namakan “ushul fiqh” yaitu kaidah-kaidah yang wajib diikuti oleh setiap
mujtahid dalam istinbath. Dan diriwayatkan dari tarikh Abu Yusuf dan Muhammad
bin Hasan bahwa dua orang itu menulis tentang ushul fiqh, namun merupakan hal
yang menyedihkan karena kitabnya sedikitpun tidak ada yang sampai kepada kita.
Adapun yang sampai kepada kita dan
dianggap sebagai asas yang shahih bagi ilmu ini dan kekayaan besar bagi para
pembahas ushul fiqh adalah kitab Ar-Risalah yang diriwayatkan oleh Muhammad
Idris Asy Syafi’i. Kemudian Asy Syafi’i menyebutkan bahwa Al-Quran berbahasa
arab dan disana tidak ada sesuatupun kecuali dengan bahasa arab. Dari keadaan
Al-Quran sedemikian itu, timbullah bahwa Al-Quran itu dipahami sebagaimana
orang arab memahami pengertian-pengertian perkataannya, padahal orang arab
bercakap-cakap dengan kalimat yang zhahirnya umum, sedang yang dimaksudkan
khusus. Seperti dalam firman Allah SWT. QS. Ali Imran : 102 yang artinya “pencipta segala sesuatu sebab itu sembahlah
Dia dan Dia adalah pemelihara segala sesuatu”.
Adanya pergolakan pada masa ini,
ternyata membawa pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan fiqh
berikutnya. Dengan demikian, fiqh dari masa ke masa mempunyai kesinambungan
antara yang satu dan yang lain. Adapun penyebab perkembangan fiqh dari hasil
ijtihad ulama sehingga terkodifikasikan yaitu wilayah yang sangat luas,
tersebarnya fuqaha ke berbagai wilayah, diperolehnya metode ijtihad dari
periode sebelumnya, adanya keinginan agar tingkah laku kaum muslimin sesuai
dengan syariat, dan lahirnya ulama yang berpotensi sebagai mujtahid.[1]
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Latar Belakang Tasysri’ Pada Masa
Awal Abad II Sampai Dengan Abad IV Hijriah
Setelah
tasyri’ pada masa sahabat senior dan junior serta tabi’in telah dijelaskan,
selanjutnya tasyri’ pada masa abad ke II Hijriah sampai dengan Abad IV Hijriah.
Pada masa ini tterjadi perpindahan kekhalifahan dari Bani Umayyah ke Bani
Abbasiyah. Pemimpin pertamanya Abu Abbas yang dipanggil dengan Al-Saffah bin
Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas. Pada masa Abu bakar Al-Mansyur menjadi
khalifah, ia membangun kota Baghdad menjadi ibu kota negara-negara Islam.
Disanalah ulama dari penjuru dunia berkumpul, sekaligus para pengusaha dan
teknokrat mengembangkan bakat dan kemampuannya. Pada periode inilah pembukuan
sunnah mengalami kesempurnaan, demikian juga pembukuan fqh dan munculnya ulama
besar yang dikenal dengan berbagai macam mazhabnya.
Masa
tasyri’ pada periode ini dimulai pertengahan abad II sampai pertengahan abad IV
Hijriah (250 tahun), yaitu masa Bani Abbasyiah dan mujtahidin. Periode ini
disebut sebagai periode perkembangan kematangan tasyri’ yang gemilang karena
fiqh dan ijtihad ulama mengalami perkembangan yang luar biasa. Masa ini juga
disebut masa penyempurnaan, dimana terjadi pembukuan sunnah, fatwa para
sahabat, fatwa tabiin dan tabiit tabiin, hadis-hadis tafsir, ilmu-ilmu hadis,
serta fiqh dan ushul fiqh.
Pada periode inilah
muncul tokoh mujtahidin dan ulama besar yang menjadi tokoh istinbath dari berbagai
mazhab.
Imam
Al-Syafi’i salah seorang tokoh ahli hadits belajar kepada Muhammad bin Hasan
Al-Syaibany. Imam Abu Yusuf, tokoh ahli ra’yu, banyak mendukung pendapat ahli
hadits dengan mempergunakan hadits-hadits Rasulullah SAW. Oleh sebab itu, menurut
Imam Muhammad Abu Zahrah, kitab-kitab Fiqh banyak berisi ra’yu dan hadits. Hal
ini menunjukkan adanya titik temu antara masing-masing kelompok.
Kitab-kitab
fiqh mulai disusun pada periode ini dan pemerintah Daulah Bani Abbasiyah pun
menganut mazhab Hanafi sebagai pegangan para hakim di pengadilan. Di samping
sempurnanya penyusunan kitab fiqh dalam berbagai mazhab, dalam periode ini juga
disusun kitab-kitab ushul fiqh, seperti Al-Risalah
yang disusun oleh Imam Al-Syafi’i. Fiqh Iftiradi (fiqh yang berdasarkan
pengandaian tentang persoalan yang akan terjadi di masa yang akan datang) pun
semakin berkembang karena pendekatan yang dilakukan tidak lagi bersifat aktual,
tetapi mulai bergeser pada pendekatan teoritis. Oleh sebab itu, hukum untuk
permasalahan yang mungkin akan terjadi sudah ditentukan.
Fiqh
sudah menjelma sebagai salah satu cabang ilmu yang mengandung pengertian
hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliah (praktis) dari dalil-dalilnya yang
terperinci. Ushul fiqh pun telah matang menjadi salah satu cabang ilmu.
Berbagai metode ijtihad, seprti qiyas, istihsan, dan istishlah telah
dikembangkan oleh Ulama Fiqh. Dalam perkembangannya, fiqh tidak saja membahas
persoalan aktual, tapi juga menjawab persoalan yang akan terjadi, sehingga
bermunculanlah fiqh iftiradhi.[2]
Namun,
jika dilihat dari dimulainya kodifikasi keilmuan islam, khususnya ilmu fiqh
dimulai sejak awal abad ke II Hijriah dan berakhir pada abad IV Hijriah, dan
proses perkembangannya memerlukan kurun waktu 250 tahun. Disebut periode
kodifikasi, karena pada periode ini gerakan penulisan dan pembukuan berbagai
disiplin ilmu mengalami perkembangan pesat. Banyak bidang yang dikodifikasikan
diantaranya : hadis, fatwa sahabat, fatwa tabi’in, tafsir Al-Quran, fiqh imam
mujtahid, ushul fiqh, filsafat, kedokteran, yang kesemuanya telah dibukukan
dalam satu bentuk pembukuan. Periode ini dinamakan periode keemasan dan khusus
dalam perkembangan hukum islam, telah berkembang dan menjadi matang, sehingga
membuahkan perbendaharaan hukum. Semangat dan antusias dalam mengkaji persoalan
hukum baik ibadah, muamalah, dan persoalan-persoalan, yang lain disesuaikan
dengan semangat hukum islam. Para ulama itu ternyata tidak berkumpul dalam satu
kota, tetapi menyebar hampir di seluruh kota.
Kembali kepada perkembangan fiqh
pada masa awal, bahwa hukum Islam mempunyai karakter yang mendasari pesatnya
kajian fiqh pada periode keemasan yaitu :
a. Adanya
pendekatan kebahasaan, yang merupakan salah satu bagian yang sangat penting.
Dari pendekatan ini difahami makna teks sehingga tercapai maksud syara’ (maqasid ay-syari’ah).
b. Pendekatan
illat hukum (ma’qul an-Nash), yang
menjadi fokus perhatian pendekatan ini adalah mencari makna yang tersirat
dibalik sistematika lafd. Tentu saja,
kecerdasan intelektual dan ketajaman analisa sangat dibutuhkan dalam menggali
maksud-maksud syara’ sehingga illat hukum dapat tertangkap.
c. Pendekatan
tujuan sekunder. Sebelum menggunakan pendekatan ini, tentu saja harus tau
terlebih dahulu apa yang menjadi tujuan primer dari syara’. Dalam kajian ushul
fiqh, tujuan sekunder ini sangat penting posisinya untuk mengatasi maqasid
syari’ah. Bahkan, pendekatan ini menjadi jembatan (penghubung antara keduanya).
d. Diamnya
syar’i pada suatu tempat tertentu, sehingga mereka bisa fokus dan
berkonsentrasi dalam pengistinbathan hukum.[3]
B.
Pola
Ijtihad Pada Masa Abad ke-2 sampai dengan Abad ke-4
Pada masa ini perkembangan ijtihad ulama
mengalami perkembangan yang luar biasa. Melalui ijtihad, pengambilan keputusan
hukum dapat dilakukan melalui metode istinbath. Adapun hukum ijtihad adalah wajib
bagi mereka yang telah memenuhi syarat sebagai mujtahid. Artinya, seorang
mujtahid yang melakukan ijtihad difungsikan untuk menggali dan merumuskan hukum
dimana syara’ sendiri tidak menetapkannya secara jelas. [4]
Dalil wajibnya berijtihad bagi yang telah
memenuhi syara’ terdapat dalam QS. Al-Hasyr ayat 2 yang artinya : “Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi
pelajaran wahai orang-orang yang mempunyai wawasan”.
Pola ijtihad pada masa ini, diambil dari
metode ijtihad pada masa sebelumnya. Ulama pada masa ini telah memiliki
sejumlah fatwa dan metode ijtihad yang didapat dari periode sebelumnya. Di
samping Al-Quran telah dibukukan dan telah tersebar di kalangan muslimin,
demikian pula sunnah yang juga sudah mulai dibukukan pada permulaan abad II
Hijriah. [5]
C.
Faktor
yang menyebabkan berkembangnya Hukum Islam
Pada fase ini, perkembangan hukum islam
ditandai dengan munculnya aliran-aliran politik yang secara implisit mendorong
terbentuknya aliran hukum. Walaupun panasnya suasana politik yang dipengaruhi
oleh golongan-golongan pemberontak (golongan khawarih dan syiah), tetapi fase
ini disenut juga masa keemasan umat islam karena keilmuan di berbagai bidang
berkembang pesat. Berikut ini faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan
hukum islam yaitu :
a. Faktor
Politik
Pada
fase ini, perkembangan hukum Islam ditandai dengan munculnya aliran-aliran
politik yang secara impisit mendorong terbentuknya aliran hukum. Daulah
Abbasiyah fanatik terhadap dua hal yaitu fanatik terhadap Arab dan Persia.
Fanatik Arab memegang kekuasaan dan fanatik persia sebagai propaganda
Abbasiyah. Keduanya saling menolong. Bahkan Al-Ma’mun yang terdidik Persia
ingin menghapuskan fanatik Arab. Pemberontakan pertama dari golongan Syiah
terjadi di Andalusia, ketika keturunan Bani Umayyah mengasingkan diri dan
mendirikan kekhalifahan disana. Syiah merasa lebih berhak atas kekhalifahan ini
daripada golongan lain. Kemudian terjadi pemberontakan berikutnya di Mekah yang
dipimpin Musa Al-Hadi bin Muhammad Al-Mahdi bin Abu Ja’far Al-Mansyur, tetapi ia
terbunuh.
b. Faktor
perluasan wilayah.
Perluasan
wilayah islam sudah berjalan pada periode Khulafaur Rasyidin. Dengan demikian,
banyak daerah yang telah ditaklukan oleh Islam. Semangat ulama untuk
mengembalikan segala permasalahan kepada sumber hukum Islam, seiring dengan
perkembangan kebutuhan hukum untuk terciptanya kemaslahatan bersama.
Perluasan
wilayah Daulah Abbasiyah pada masa ini mencapai ke Barat (Andalusia) dan ke
Timur (Cina). Perluasan wilayah yang dipimpin oleh Abu Al-Abbas Al-Saffah
mempunyai pengaruh besar dalam perkembangan fiqh dan tasyri’, karena
pemerintahan mengatasnamakan agama. Tokoh-tokoh pemerintahannya sangat
memperhatikan agama dan perundang-undangan negara diupayakan bersumberkan dari
hukum Islam.
Upaya
perluasan ini membutuhkan pembukuan perundang-undangan sebagai pedoman para
hakim dan gubernur dalam melaksanakan tugas. Buku pedoman itu juga dibutuhkan
rakyat yang menghendaki fatwa-fatwa untuk segala urusan mereka dalam segala
bidang.
c. Faktor
Perbedaan Penggunaan Ra’yu
Para
periode ini para ulama dalam mengemukakan pemikirannya dapat digolongkan
menjadi dua golongan yaitu :
1. Ahli
hadis yang dominan menggunakan riwayat dan sangat hati-hati dalam penggunaan
ra’yu.
2. Ahli
ra’yu yang lebih banyak menggunakan ra’yu dibandingkan dengan hadis.
Perkembangan dua
pemikiran tersebut dapat menyebabkan perbedaan dalam menggunakan metode untuk
memahami teks Al-Quran dan Hadis, menentukan sumber hukum Islam dan menetapkan
fatwa yang diberikan kepada umat Islam.
d. Faktor
Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Secara
umum, faktor penyebab perkembangan ilmu pengetahuan pada abad II sampai abad IV
sebagai berikut :
1. Maula
Sebagian maula yang
masih kecil semula menjadi tawanan kaum muslimin kemudian dididik secara Islami
oleh tuan-tuan mereka sehingga mereka mewarisi ilmu-ilmu keislaman bersumberkan
Alquran dan hadis. Banyak diantara mereka yang menjadi qari, ahli hadis, dan
ilmuwan. Sementara itu, sebagian maula yang
masuk Islam sesudah dewasa, mampu mengawinkan pemikiran yang lebih matang dan
rasional. Mereka pun mempunyai peranan yang besar dalam politik.
2. Terjemahan
Buku-Buku Persia dan Romawi
Pada masa Abu
Ja’farAl-Mansyur sampai dengan masa Al-Ma’mun, kegiatan terjemahan buku-buku
asing seperti buku Persia dan Romawi semakin meningkat, terutama kesusastraan
Yunani dan pendapat-pendapat Aristoteles. Apa yang termuat di dalamnya
mempunyai peranan yang besar dalam membekali pengetahuan bagi ahli kalam dalam
menumbangkan ahli hadis pada masa Al-Ma’mun, di samping membantu pesatnya
perkembangan ilmu pengetahuan. Al-Ma’mun mendukung pemikiran ahli kalam yang
menyatakan kemakhlukan Al-quran. Ia juga menjadikan pemikiran ahli kalam
sebagai filsafat negara dan memaksa ahli hadis untuk mengakuinya.
Adapun
secara khusus penyebab faktor perkembangan ilmu pengetahuan sebagai berikut :
1. Dorongan
ajaran agama itu sendiri sebagaimana dikemukakan di dalam sejumlah teks Alquran
dan hadis.
2. Kecintaan
para khalifah terhadap ilmu pengetahuan. Mereka mendorong perkembangan ilmu
pengetahuan serta mendekatkan para ilmuwan dan ulama ke istana.
3. Para
cendekiawan dan umat melihat dunia sebagai suatu karunia Ilahi yang harus
dimanfaatkan, bukan sebagai sesuatu yang buruk dan harus dijauhi.
4. Dukungan
ekonomi altruitis yang memadai dari sektor perwakafan. Pada zaman itu, wakaf
memainkan peranan penting dalam pengembangan pendidikan dan riset ilmiah.
Perguruan-perguruan merupakan tempat belajar ilmu pengetahuan yang gratis
karena di dukung dana wakaf.[6]
e. Faktor
Lainnya Para Tokoh Mujtahid
Pada
abad ini muncul para cendekiawan dalam berbagai bidang ilmu, seperti teologi,
hukum, dan tasawuf. Dalam bidang fiqh islam, muncul berbagai tokoh seperti Abu
Hanifah dan ashhabnya, Imam Maliki
dan ashhabnya, Imam Al-Syafii dan ashhabnya, serta Imam Ahmad bin Hanbal
dan ashhabnya. Pemikiran-pemikiran
yang mereka miliki berperan dalam memproses suatu hukum yang berkembang dalam
masyarakat.
Berkembangnya keadaan
membuat banyak permasalahan baru yang terjadi. Dengan demikian, baik para
pemimpin maupun hakim, mengembalikan permasalahan-permasalahan yang terjadi
kepada para mufti dan tokoh ahli perundang-undangan.
Umat islam pada masa
ini berusaha agar ibadah dan muamalah sesuai dengan hukum Islam. Mereka
senantiasa bertanya atau meminta fatwa kepada para ahli fiqh mengenai hal-hal
yang tidak ada penjelasannya di dalam AL-Quran dan Hadis.
f. Faktor
Terbukukannya Sumber Tasyri’
Ulama yang
beristinbath, memperoleh metode yang telah ditetapkan. Mereka telah memperoleh
dasar-dasar syariat dan memahami peristiwa-peristiwa yang dialami orang-orang
sebelumnya. Al-quran telah dibukukan dengan sempurna bahkan penulisannya
ditambahkan titik dan harakat. Model penulisan seperti itu telah
terkodifikasikan sejak pertengahan abad II Hijriah dan mengalami kejayaannya
pada abad III Hijriah sehingga muncullah buku-buku hadis induk. Tidak hanya
itu, fatwa para sahabat dan tabi’in juga mengalami perkembangan. Hal ini
terlihat dari munculnya kitab Al-Umm dan
Al-Risalah yang ditulis oleh
Al-Syafii.[7]
D.
Sumber-Sumber
Tasyri’ Pada Masa Dinasti Abbasiyah, karakteristik, dan Pemegang wewenangnya
1. Sumber-sumber
tasyri’
Sumber
perundang-undangan hukum Islam pada zaman ini lebih luas dibandingkan dengan
zaman sebelumnya. Ada sumber yang sudah yang sudah disepakati dan ada yang
masih menjadi perdebatan diantara fuqaha’.
Diantara
sumber yang sudah disepakati adalah Al-quran dan Sunnah dan tidak ada satu
orang pun yang berbeda pendapat tentang hal ini. Namun, yang menjadi perbedaan
diantara mereka adalah bagaimana memahami dalil-dalil yang ada didalamnya
disebabkan oleh banyak faktor terutama dalam masalah-masalah furu’iyyah yang
pernah terjadi diantara para sahabat.
Adapun
ijma’ dan qiyas, sebagian besar fuqaha’ menganggapnya sebagai hujjah dalam
menentukan hukum syar’i dan tidak ada yang menentang pendapat ini kecuali
sebagian kecil fuqaha’ saja. Jadi, adapun beberapa sumber tasyri’ yang
digunakan pada masa ini yaitu Al-Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Berikut
diuraikan sumber tasyri’ sebagai berikut :
a. Alquran
Yaitu wahyu dari Allah
swt. Tidak ada perselisihan di kalangan ulama tentang eksistensinya sebagai
sumber hukum Islam karena petunjuknya bersifat tegas.
b. Sunnah
Ulama sepakat bahwa
sunnah sumber tasyri’ yang kedua setelah alquran. Dalam sunnah juga terdapat
teks yang tegas dan teks yang tidak tegas. Demikian juga dalam periwayatan
hadis mutawatir yang disepakati ulama sebagai sumber hukum. Sementara itu,
dalam hadis ahad terjadi perbedaan. Ada ulama yang menerima dan ada yang
menolak.
c. Ijma’
Yaitu kesepakatan para
mujtahid setelah wafatnya Nabi mengenai hukum suatu peristiwa. Apabila terjadi
suatu peristiwa yang memerlukan penetapan hukum, ulama mengkaji masalah
tersebut dan menyepakati hukumnya.
d. Qiyas
Yaitu menyamakan hukum
sesuatu yang tidak ada teksnya di dalam Al-Quran dan Sunnah, tetapi mempunyai
alasan ‘illat yang sama. Dengan kata lain, membandingkan hukum suatu peristiwa
yang belum ada ketentuan hukumnya dengan peristiwa lain yang sudah ada
ketentuan hukumnya atas dasar persamaan ‘illat.
2. Karakteristik
Fiqh abad ke II sampai abad ke IV Hijriah
Adapun
beberapa karakteristik Fiqh Islam masa ini memiliki karakteristik tersendiri
yang berbeda dengan fase-fase sebelumnya. Pada fase ini fiqh mengalami tingkat
kematangan dalam tempo yang sangat singkat yang tidak dialami oleh
perundang-undangan (tasyri’) yang
lain, terutama pada dua abad, kedua dan ketiga dan sudah tentu kemajuan ini
tidak datng begitu saja, akan tetapi karena ada daya dukung dari beberapa
faktor diantaranya :
a. Fiqh
islam mencapai puncak kematangan dan kesempurnaan, mencakup semua kehidupan,
prinsip-prinsip dasarnya menyentuh semua aspek, religi dan duniawi.
b. Munculnya
beberapa ahli fiqh ternama yang diakui kapasitas keilmuan dan kepemimpinannya
oleh mayoritas ulama Islam.
c. Lahirnya
mazhab-mazhab fiqh yang begitu beragam. Dari golongan ahli sunnah wal jama’ah
ada dua belas mazhab, namun yang masih terkenal sampai saat ini hanya empat
mazhab yaitu Mazhab Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali. Munculnya mazhab-mazhab
fiqh ini bukan hanya hasil karya para imam mazhab saja, tetapi hasil dari ilmu
dan ijtihad muridnya. Setiap imam mazhab dikelilingi oleh para murid dan
diantara murid ada yang mempunyai kapasitas sebagai mujtahid, yang akan menulis
pa yang mereka dengar dari gurunya, kemudian ditambahkan hasil ijtihad mereka
sendiri dari masalah-masalah yang tidak sependapat dengan gurunya. Ilmu ini
kemudian diwariskan secara turun-temurun dengan tetap memakai nama imam yang
pertama.
d. Terjadi
perbedaan yang tajam di antara para ulama terhadap sebagian sumber tasyri’,
seperti ber-hujjah dengan perbuatan penduduk Madinah dan ucapan sahabat selain
mereka juga berselisih tentang cara memaknai dalil sunnah, ijma’ dan qiyas.
e. Pemerintah
mempunyai kecenderungan fiqh tersendiri dalam menjalankan roda kehakiman.
Contohnya, fiqh Imam Abu Hanifah dan alirannya menguasai kehidupan
perundang-undangan pada zaman Dinasti Abbasiyah dan fiqh Imam Asy-Syafii
menguasai negeri Maroko dan Andalusia.
f. Ilmu
pengetahuan dengan berbagai macam jenisnya sudah dibukukan, terutama al-quran
dan sunnah serta ushul fiqh.
g. Ruang
perbedaan pendapat diantara fuqaha’ semakin meluas sehingga berdampak pada
banyaknya masalah-masalah fiqh yang muncul disebabkan jumlah mujtahid yang
memadai di setiap negeri. Dan setiap negeri mempunyai masalah tersendiri
sehingga sulit bagi fuqaha’ untuk
bertemu di satu tempat untuk membahasnya. Akan tetapi, perbedaan yang terjadi
di antara mereka tidak menimbulkan rasa saling benci, bahkan setiap orang yang
meyakini pendapatnya benar, tetapi ada kemungkinan salah dan pendapat orang
lain salah tetapi ada kemungkinan benar.
h. Munculnya
beberapa istilah fiqh untuk memberikan identitas terhadap dalil-dalil tertentu
untuk lebih memudahkan dipahami, seperti nama rukun, sah, batal, dan beberapa
istilah lain yang tidak familiar sebelumnya.[8]
3. Pemegang
wewenang tasyri’
Pada abad I Hijriah, para tabi’in selalu
menyertai para sahabat yang mempunyai keahlian dalam bidang fatwa dan tasyri’
di berbagai kota besar. Dari para sahabat inilah, para tabi’in mempelajari
al-quran, menerima periwayatan sejumlah hadis, dan menelaah berbagai fatwa.
Dari mereka juga, para tabi’in ada yang telah memberi fatwa pada saat sahabat
masih hidup, seperti Sa’ad bin
Al-Musayyab di Madinah, serta Alqamah bin Qais dan Sa’id bin Jubair di Kufah. Dalam
satu periwayatan, ketika orang-orang kufah mendatangi Abdullah bin Abbas
(seorang sahabat) untuk meminta fatwa, ia berkata “apakah tidak ada di mulai berfatwa tentang hukum sejak sahabat masih
hidup”.
Para
tabi’in juga selalu disertai tabi’-tabi’in yang menjadi murid-murid mereka.
Tabi’-tabi’in menerima pelajaran dari tabi’in sebagaimana mereka menerimanya
dari para sahabat, baik berdasarkan Al-Quran, hadis, fiqh, maupun
rahasia-rahasia tasyri’. Tabi’-tabi’in inilah yang menjadi para guru imam
mujtahidin. Mereka yang menjadi pemegang wewenang tasyri’ adalah generasi
tabi’in yang memperhatikan prinsip-prinsip umum dalam men-tasyri’kan hukum.
Mereka lalu gantikan para muridnya, yaitu para imam mujtahid.[9]
E.
Analisis
Makalah
Gerakan Gender dan Hukum Islam
Secara etimologi, kata Gender berasal dari bahasa inggris yang
artinya jenis kelamin, sedangkan
secara terminologi berarti konsep kultural yang berupaya membuat perbedaan
dalam hal peran, perilaku, metalitas dan karakteristik emosional antara
laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.
Islam memandang bahwa laki-laki dan
perempuan sama derajat dan martabatnya. Islam menempatkan keduanya dalam posisi
yang seimbang, sesuai dengan kodrat dan fungsinya masing-masing, sesuai dengan
keistimewaannya masing-masing, dan keduanya saling melengkapi. Hal ini
tercermin dalam firman Allah swt surah An-Nisa’ ayat 32 :
“Dan janganlah kamu iri hati
terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari
sebagian yang lain. (karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka
usahakan dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan”. Disebutkan
pula dalam surah Al-Hujarat ayat 13 bahwa yang membedakan antara laki-laki dan
perempuan hanya ketaqwaannya.
Namun dalam praktiknya ternyata
beberapa doktrin islam dianggap tidak cukup kapabel dalam menghadapi tantangan
zaman, terutama terkait dengan isu-isu gender. Hal ini tentu dapat dipahami,
karena pada dasarnya doktrin Islam sendiri dibuat dan dirumuskan dalam satu
masyarakat yang cenderung patriakal. Saat
ini, beberapa doktrin Islam tersebut dianggap mendiskriminasikan perempuan,
namun ketika pertama kali muncul setidaknya Islam menjadi agama pelopor yang
memperhatikan hak-hak perempuan, seperti halnya terlihat dari
ketetapan-ketetapan hukum yang dirumuskan al-Quran tentang hak waris perempuan,
hak untuk bersaksi bagi perempuan, dan yang paling revolusioner adalah
seperangkat hukum keluarga yang ditetapkan al-Qur’an menghapuskan praktik
eksploitasi laki-laki terhadap perempuan.
Dalam hal inilah, beberapa pemikir
feminis banyak berpendapat bahwa proses pembebasan perempuan tidak berhenti
pada masa turunnya wahyu, akan tetapi berada dalam proses panjang perjalanan
manusia. Namun demikian, perjalanan sejarah umat islam pulalah yang kemudian
dianggap beberapa pemikir, menghilangkan semangat tersebut dari doktrin islam
itu sendiri. seperti halnya institusi harem
yang memaksa perempuan tersembunyi dan terpingit dari masyarakat luas,
pertama kali diterapkan oleh Harun Al-Rasyid yang meniru kebiasaan bangsa Sassaniyah.
Ini pun awalnya diberlakukan hanya bagi kalangan bangsawan dan para pembesar
kerajaan, sedangkan bagi rakyat jelata tidak. Lembaga ini akirnya semakin kuat
menyingkirkan peran perempuan, yang menggunakan legitimasi doktrin-doktrin
keagamaan.
Dalam hal inilah para pemikir muslim
berusaha mencari otensitas hukum islam yang ada dalam Al-Quran dan Sunahnya.
Beberapa tokoh seperti Muhammad Abduh, Qosim Amin, Abdullah Ahmed An-Naim,
Muhammad Shahrour atau Sayyid Nasr Abu Zayd, Asghar Ali Engineer dan sebagainya
merupakan pemikir Islam Kontemporer yang berusaha mengkontekstualisasikan hukum
Islam dengan kebutuhan zaman, terutama terkait dengan hak-hak perempuan dan
kesetaraan gender.
Beberapa pemikir tersebut berbeda
satu sama lain, ketika merumuskan kembali doktrin Islam, dan mulai dari yang
paling eksterm. Mulai dari pengakjian, cara kritis terhadap tradisi Islam
klasik dan mencari titik temu yang relevan sampai mengubah azas-azas penafsiran
Al-Quran dan pengambilan hukum Islam.
Salah satu pemikir yang cukup
kontropersial adalah Abdullah Ahmed An-Naim, yang mengatakan bahwa terdapat
diskriminasi gender dalam Al-Quran dan Sunnah yang tidak dapat dipertahankan
lagi di masa sekarang, andaikan kita tidak bisa melakukan penafsiran ulang
terhadap teks-teks, maka tidak ada jalan lain untuk menghindari pelanggaran
yang mencolok dan serius terhadap standar-standar hak-hak asasi manusia.
Diantara ayat-ayat yang dianggap biasa gender itu adalah ayat kepemimpinan
laki-laki atas perempuan (QS. A-n-Nisa’ :34), ayat kewarisan bagian laki-laki
adalah dua bagian perempuan, laki-laki boleh mengawini perempuan kitabiyah sementara perempuan Muslimah tidak bisa
mengawini laki-laki kitabiyah ( Al-Maidah : 5 ).
E. Kesimpulan
Tasyri’
memiliki sejarah pertumbuhan dan perkembangan dari masa ke masa setapak demi
setapak menuju kesempurnaannya dan selalu sesuai dengan kondisi masyarakatnya.
Sejarah tasyri’ berkembang sejak adanya islam, yaitu sejak masa Rasulullah SAW.
Sampai dengan sekarang. Tasyri’ terbentuk sesuai dengan keperluan yang
dibutuhkan masyarakat untuk mengatur kehidupan demi mencapai kesejahteraan
hidup, baik di dunia maupun di akhirat.
Masa
tasyri’ pada periode ini dimulai pertengahan abad II sampai pertengahan abad IV
Hijriah (250 tahun), yaitu masa Bani Abbasyiah dan mujtahidin. Periode ini
disebut sebagai periode perkembangan kematangan tasyri’ yang gemilang karena
fiqh dan ijtihad ulama mengalami perkembangan yang luar biasa. Masa ini juga
disebut masa penyempurnaan, dimana terjadi pembukuan sunnah, fatwa para
sahabat, fatwa tabiin dan tabiit tabiin, hadis-hadis tafsir, ilmu-ilmu hadis,
serta fiqh dan ushul fiqh. Pada periode inilah muncul tokoh mujtahidin dan
ulama besar yang menjadi tokoh istinbath dari berbagai mazhab.
Pada
masa ini perkembangan ijtihad ulama mengalami perkembangan yang luar biasa.
Melalui ijtihad, pengambilan keputusan hukum dapat dilakukan melalui metode
istinbath. faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan hukum islam yaitu
faktor politik, perluasan wilayah, perbedaan penggunaan ra’yu, perkembangan
ilmu pengetahuan, faktor lainnya para tokoh mujtahid, dan terbukukannya sumber
tasyri’.
Adapun
sumber tasyri’ pada masa ini tidak terlepas dari sumber pada masa sebelumnya.
Adapun sumber tersebut yaitu Al-quran, sunnah, ijma, qiyas.
[1] Muhammad
Zuhri, Tarjamah Tarikh Tasyri’ Al-Islami, (Daarul Ihya: 1980) hlm. 395
[2] Abdul
Majid Khon, Ikhtisar Tarikh Tasyri’, (Jakarta: Amzah, 2015) cet. Ke-2, hlm
82-84
[3] Yayan
Sopyan, Tarikh Tasyri’ (sejarah pembentukan hukum islam), Gramata publishing.
Hlm. 131-132
[4] Abdul
Majid Khon, Ikhtisar Tarikh Tasyri’ (Jakarta: Amzah, 2015). Hlm 83
[5] Ibid.
Hlm 124
[6] Ibid
hlm. 96-97
[7] Abdul
Majid Khon, Ikhtisar Tarikh Tasyri’ (Jakarta: Amzah, 2015). Hlm 84-87
[8] Rasyad
Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’. (jakarta: Teruna Grefika,2011) hlm. 114-116
[9] Abdul
Majid Khon, Ikhtisar Ttarikh Tasyri’. (Jakarta: Amzah, 2015). Hlm 88-89
How To Download Videos, Photos & Videos For TV
BalasHapusTV channel, YouTube. The website offers its fans a unique video quality which enables youtube to mp3 download them to watch a live stream. YouTube is one of the main